Kok Jarang Pakai Make Up?

Desclaimer : Helo, yang tertulis ini adalah pendapat pribadi ya :) dan juga make up dan skin care adalah 2 hal yang berbeda. Dalam postingan ini saya memfokuskan pada make-up saja. 

----------------------

Saya selalu memandang make up sebagai sebuah bentuk karya seni dan cara mengekspresikan diri. Hal itulah yang membuat saya dulu menggandrungi make-up. Namun sekarang saya sudah jarang menggunakan make up. Kalau ditanya mengapa, jawaban gampangnya adalah, “Daripada untuk pasang make up, sekarang aku mengedepankan waktuku untuk tidurrrr.”

Jawaban belibet dan prinsipalnya? Silakan baca di bawah ini.

  1. Saya cukup tidak setuju dengan kalimat-kalimat “Kamu cantik, lho kalau pakai make-up.”, “Make up-an dulu biar syanthek.” dan kalimat sejenisnya

Kita memang suka dipuji dan memang sudah didesain begitu. Dipuji memacu hormon dopamine yang memang adalah salah satu hormon kebahagiaan terpicu dari pujian atau sistem penghargaan lainnya. Jika bahagia maka badan kita bisa berfungsi dengan baik, dan untuk memenuhi kebutuhan untuk berfungsi inilah maka badan kita berusaha untuk mendapatkan pemicu hormon kebahagiaan (di akhir post saya akan share link page yang menjelaskan apa saja hormon kebahagiaan itu ya).

“Kalau cewek ya cantik, kalau cowok ya ganteng.” - sebuah quote penuh kebijaksanaan dari adek gantengku.

Semua perempuan pada dasarnya cantik, sayangnya kita manusia punya kekurangan: 

  1. Suka mencari yang bersifat mencolok

  2. Sulit memahami dan berpegang pada spektrum yang terlalu luas

  3. Suka mengelompokkan diri

Jika nomor 1 dan 2 dikombinasikan, voila jadilah ‘standar dan norma sosial’. Ditambahkan nomor 3 jadilah pengelompokan masyarakat (saya bukan sosiolog or semacamnya ya, ini cuma hasil observasi saja).

Mode default kita adalah mengasosiasikan diri dengan kelompok. Untuk dapat berasosiasi kita perlu untuk memenuhi standar dan norma sosial kelompok yang kita tuju. 

Beberapa kelompok masyarakat menggunakan standar kecantikan sebagai bentuk penerimaan. Salah satu pengukur standarnya adalah make up. Tentu saja tidak sembarang make up, namun lebih tepatnya adalah make-up yang sesuai standar. Karena itulah kalimat penerimaan semacam “cantik kalau pakai make-up” dilontarkan hanya jika seseorang telah memenuhi standar make-up pada kelompok tersebut.

Saya berpegang teguh pada apa yang telah diajarkan pada saya bahwa, “Manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya”. Hal ini membantu saya memahami bahwa kecantikan pada dasarnya sangat luas spektrumnya dan tidak memiliki standar. Namun kini setelah memahami bagaimana ia difungsikan sebagai alat penerimaan sosial dan bagaimana kecenderungan ini disalah gunakan (seperti yang saya lontarkan di alasan nomor 2) saya merasa hal ini tidak sesuai dengan prinsip yang saya pegang.

Sehingga bisa dibilang bahwa jarang memakai make-up merupakan sebuah bentuk dukungan saya untuk memperluas, bahkan meniadakan, definisi standar kecantikan.


  1. Sudah bosan menjadi obyek marketing yang memang didesain untuk terus membuat orang merasa belum mencapai standar kecantikan

(Standar kecantikan terus berubah, tapi wajah saya ya begini begini saja dari masa ke masa :P)

Standar kecantikan memang dibuat untuk terus berubah, karena memang dasarnya kita selalu ingin menjadi unik. 

Kalau kita lihat siklus pembentukan standar kecantikan baru selalu mengikuti langkah yang kurang lebih sama: 

     Step 1 : Sekelompok kecil orang -dengan status sosial dan atribut yang terpandang di dunia make-up- mencoba gaya baru

     Step 2 : Gaya baru ini menjadi standar baru

     Step 3 : Gaya ini mulai ditiru dan menjadi umum

     Step 4 : Karena sudah umum sehingga jadi membosankan, sehingga kembali ke Step 1 dan seterusnya

Upaya pembaharuan standar inilah yang menjadikan perputaran ekonomi di sektor bisnis kecantikan terus berjalan. Meskipun hal ini menjunjung perkembangan ekonomi baik makro maupun mikro, namun ada hal yang membuat saya keberatan dengan hal ini: trend ini dibuat selalu berubah, sehingga kita tidak pernah puas dan seolah-olah harus terus berupaya mengkonsumsi atribut kecantikan baru agar ‘semakin mendekati standar’. 

Mengapa kita harus merasa puas? Karena kepuasan adalah tanda status sosial kita aman di suatu kelompok. Perasaan tidak puas adalah simbol bahwa status kita terancam, bahwa ada kemungkinan bahwa kita tidak akan bisa secara utuh berasosiasi dengan standar kelompok dan menjadikan kita memiliki kemungkinan untuk dikeluarkan dari kelompok.

Dan perasaan inilah yang tepatnya dimainkan dalam berbagai macam marketing yang berkaitan dengan  standar kecantikan. 

Intinya aku lelah dibohongi dan diporotin duitnya.


  1. Kebanyakan bahan kimia

I don’t know how much is too much, jadi saya hindari sebisanya haha.


  1. Ribet

Karena saya lebih mengedepankan tidur daripada waktu harus habis untuk pasang make-up.


  1. Belajar untuk puas dengan ketidaksempurnaan yang memang seharusnya

Jelas toh?


Jadi sekarang tidak pernah pakai make up?

Bukan tidak pernah, hanya saja jarang. 

Hanya pada waktu-waktu tertentu saja saya menggunakan make up. Saya sering mendefiniskan momen ini sebagai ‘waktu untuk mengunakan make up sebagai simbol familiaritas’. Momen ini seringnya berkaitan dengan pekerjaan.

Contohnya dulu saat bekerja di Jakarta saya menggunakan make up saat bepergian ke beberapa badan pemerintahan. Kala itu pekerjaan saya berkaitan dengan dokumen-dokumen, sehingga saya merasa harus memberikan kesan yang kuat agar pengurusannya tidak bertele-tele. Jadilah saya pasang eyeliner cat eye, sehingga mata terlihat lebih tajam (sepertinya ngaruhnya dikit, tapi setidaknya saat di counter diladeni dengan benar). 

Saat ini saya bekerja di DNetwork, sebuah organisasi penghubung pencari kerja dengan disabilitas ke kesempatan kerja. Bekerja dengan penyandang disabilitas merupakan hal yang baru dan dapat menjadi hal yang tidak familiar bagi perusahaan. Itulah mengapa sayang menggunakan make-up sebagai alat untuk memberikan familiaritas kepada perusahaan dengan cara menyesuaikan dengan standar grooming. Apakah berpengaruh banyak? Entahlah, namun setidaknya saya tahu bahwa manusia pada dasarnya merasa aman dengan kesamaan, dengan familiaritas. Sehingga setidaknya dengan memakai make up saya memberikan sinyal kesamaan kepada pihak yang ingin saya ajak kerjasama.


Bagaimana dengan skincare?

Tentu saja harus terus jalan. Skincare adalah bentuk perawatan tubuh, sehingga harus terus dilakukan. Dalam hal skincare saya mencoba untuk memakai bahan alami. Alasannya adalah karena kulit sering rewel dengan beberapa produk berbahan kimia (kulit saya kering jadi kadang perih kalau pakai beberapa produk kimia) dan cenderung nurut dengan bahan alami. Beberapa bahan yang saya gunakan seperti Virgin Coconut Oil (VCO), minyak zaitun, lidah buaya, kopi, dan bahan alami lainnya.


Ah sudah ya, capek nulis.

Semoga bermanfaat ya tulisan kali ini dan juga saya terbuka untuk diskusi dan mendengar perspektif dari berbagai pihak.


Terima kasih ya sudah membaca sampai akhir.


--------------

Oiya ini link untuk artikel hormon kebahagiaan: https://www.besthealthmag.ca/best-you/mental-health/how-to-boost-your-happy-hormones/

Comments